Kamis, 09 Maret 2017

Tanjung Benoa, Pantai Indah Bertaraf Internasional

Hello Guys!!
Sebelumnya maaf nih. Saya masih newbie.
Disini saya akan sharing tentang tour saya di Bali khususnya di Tanjung Benoa beberapa bulan lalu. Tepatnya bulan Desember akhir 2016 lalu.

Yap. Langsung saja..

Tanjung Benoa merupakan tujuan selanjutnya setelah kami segenap rombongan SMA N 1 blabla ( kulon progo bagian wetan.heheh) diajak bernostalgia mengenai perjuangan rakyat Bali, di Monumen Bajra Sandi. Menuju Tanjung Benoa, kami dibuat takjub dengan jalan tol di atas laut pertama di Indonesia. Jalan yang memiliki panjang kurang lebih 12 km itu menyajikan view kanan kiri yang Waw. Terlihat laut biru yang indah nan tenang. Berhiaskan kapal-kapal kecil yang lalu lalang. Di beberapa titik, tumbuh tanaman mangrove yang menciptakan hawa sejuk.

Setelah berakhirnya tol, kami memasuki area kehidupan masyarakat pantai pada umumnya. Dimana keramaian mulai tercipta. Liburan natal dan tahun baru yang membuat jalanan padat seakan mengajak mata ini untuk terpejam. Namun, beberapa menit kemudian akhirnya kami pun tiba di tujuan, Tanjung Benoa.

Tanjung Benoa terletak di kawasan Kuta, menyajikan pantai berpasir putih dengan beberapa wahana air seperti banana boat, diving, dll. Cocok untuk para wisatawan yang suka bermain air. Kata pemandu di bus kami, Tanjung Benoa serta berbagai wahananya sudah bertaraf internasional.

Karena waktu sudah menunjukkan jatah untuk mengisi perut, kami pun makan siang bersama. Kami dibuat kenyang dengan nasi beserta sup dan kawan-kawannya. Disela-sela kami menikmati santapan siang, para ibu-ibu berkaus hijau dan bertopi pantai dengan kulit yang mulai menghitam mendekat ke rombongan kami. Menawarkan sebuah wahana yaitu penyebrangan ke pulau penyu dengan menjanjikan dapat memegang sekaligus bernarsis ria dengan penyu-penyu yang lucu. Beliau juga memberikan iming-iming dapat melihat pemandangan beragam ikan di bawah laut karena perahu yang akan kita tumpangi beralaskan kaca, disebut juga glass bottom boat. Untuk menyebrang ke Pulau Penyu kami harus berombongan sebanyak 10 orang dan dikenakan biaya Rp 50000/ orang. Awalnya saya tidak tertarik, karena ingin tetap berhemat meski sedang bersenang-senang di pulau orang. Namun mesin penghemat dalam otak saya terkalahkan oleh hasrat yang besar ingin bersenang-senang dengan teman seperjuangan. Saya pun merelakan uang lembaran berwarna merah itu ditukar dengan yang berwarna biru. Toh, untuk apa jauh-jauh ke Bali bila tidak menjajaki semua yang sudah ada di depan mata. Lagipula, hatiku terlanjur kepincut dengan tempat wisata yang dipenuhi bule mancanegara. Kalau bule saja tertarik, ekspektasi saya tempat tersebut Amazing.

Akhirnya saya dan teman-teman saya pun mencari mangsa lagi agar genap 10 orang. Dan akhirnya setelah saling bujuk kami pun menjadi genap dan lulus syarat menyebrang. Yeah. Setelah itu, ibu-ibu berkaus hijau memilihkan perahu beserta nahkoda yang merangkap menjadi kapten.

Di dalam perahu yang digerakan dengan mesin itu, hawa panas dan dingin menjadi satu. Membuyarkan kepala. Merangsang keringat untuk keluar dari singgasananya. Saya pun menyesal mengenakan kaus hitam pekat. Dear pembaca, disarankan untuk mengenakan pakaian berwarna cerah agar tidak panas dan pastinya menyejukkan mata. Karena kondisi air yang entah bagaimana sehingga para pasukan ikan tidak kelihatan, pak kapten pun dihimbau untuk mengantarkan kami ke Pulau Penyu dahulu, baru kemudian menyapa para ikan. Okelah. Kami bersepuluh tidak bisa terima hanya duduk diam saat perjalanan berlangsung. Kami pun berkutat dengan kegiatan masing-masing. Berselfie ria, memotret indahnya alam, mengayunkan tangan di air. Perahu kami pun tak jarang oleng ke kanan, ke kiri dan menimbulkan cipratan air yang dahsyat. Ya. Dan finally, dapat disimpulkan bahwa air laut di Bali tetaplah asin sebagaimana air di laut manapun. Kapal oleng kapten!!

Beberapa menit kemudian perahu kami pun merapat. Kami harus berjalan beberapa meter menuju pulau berpasir putih tersebut sembari menenteng sandal. Warning!! Untuk pembaca yang ada di sini jangan pakai sepatu.

Terlihat wisatawan local maupun asing sedang berbincang hangat di pesisir bersama rombongan masing-masing. Kami tak sabar ingin segera masuk ke tujuan. Apalagi setelah melihat pintu gerbang yang sudah terbuka lebar. Kami pun berjalan masuk. Dan..

“ Mbak bayar dulu,” seru ibu-ibu penjaga gerbang. Dengan rasa tak tahu malu kami pun mundur, melihat ke arah papan yang menuliskan tiket masuk seharga Rp 10000. Sempat terkejut. Bukan karena saya tipikal orang yang berhemat lalu tak mau keluar uang lagi, tetapi mengapa para pemandu tidak bilang kalau harus bayar lagi? Meskipun tidak mahal tetapi seharusnya mereka memberitahukan dari awal. Untung kami membawa uang, coba kalau tidak?

Kami pun transaksi tiket dan segera masuk ke penangkaran penyu dengan sedikit rasa kekecewaan. Di sana saya bertemu dengan patung penyu besar yang tidak terlalu beda dengan Master Oogway, guru besar sekaligus masternya Chi dalam animasi film Kungfu Panda. Setelah melewatinya, terdapat beberapa kolam tetapi tidak banyak, berisi penyu dari bayi hingga tua. Di sana kami diperbolehkan memegang, berfoto, dan memberi makan, kecuali untuk penyu yang masih bayi. Setelah bosan dengan apapun yang berkaitan dengan penyu, kami pun bergeser ke sisi lain. Kami mendekat ke beberapa kandang yang berisikan burung-burung dan beberapa reptile. Di sebelah kandang, saya mendapati seorang bule yang sedang berfoto bersama dengan ular dengan catatan membayar lagi. Ya, karena uang bukan segalanya dan segalanya butuh uang.

Karena sudah lelah saya pun berniat mencari pintu keluar dan ternyata ada di depan mata, pintu yang sama dengan dimana kami tadi masuk. Dapat disimpulkan bahwa tempat ini tidaklah sebesar yang saya bayangkan.

Saya dan rombongan pun bergerak menuju perahu. Rasa semangat sedikit muncul karena masih ada satu view lagi yang dapat dinikmati, kehidupan di bawah laut. Saking semangatnya dan saking pendeknya atap perahu, untuk kedua kalinya jidat saya terbentur dengan laju yang tinggi. Alhamdulillah, tidak mendadak amnesia seperti di tivi-tivi.

Di tengah perjalanan menuju pesisir asal, kami pun kecewa karena glass bottom boat kami tak sesuai harapan. Kaca yang berwarna hijau berlumut dan kotor itu tak dapat menyajikan view bawah laut yang indah. Saya tidak dapat melihat Nemo, ayahnya, bahkan Dory. Semuanya berwarna hijau dan gelap. Butek lebih tepatnya. Ditembah lagi dengan laju perahu yang tersendat-sendat, sesekali mati dan hidup lagi. Begitulah layaknya mobil butut yang selalu macet jika di gas lebih keras. Menjengkelkan.


Sesampai di daerah asal muasal kami ditawari oleh ibu-ibu sales marketing perahu, kami langsung membasuh kaki, tangan, muka. Tak lupa membasuh hati yang dipenuhi rasa kecewa. Ternyata ekspektasi saya dimana penyu-penyu berkeliaran di sebuah pulau dan melihat keluarga Nemo ditampik habis-habisan oleh pahitnya kenyataan. Namun, sesuatu yang terjadi baik maupun buruk harus kita syukuri. Menjadikannya sebagai pengalaman berharga adalah pilihan terbaik daripada harus menyumpah serapah hal yang tidak perlu. Apabila saya dapat kesempatan untuk berwisata ke Tanjung Benoa kembali, mungkin bulan madu, semoga dalam hal pelayanan semakin baik. Apalagi Tanjung Benoa adalah destinasi yang telah diberi label “ Taraf Internasional “.



Sekian review saya. Semoga bermanfaat. Maaf apabila terdapat keslalahan.